Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum memegang wanita apakah membatalkan wudlu atau tidak, dan yang rajih adalah pendapat yang mengatakan bahwa memegang wanita tidak membatalkan wudlu secara mutlak, berdasarkan beberapa dalil diantaranya:
Hadits 'Aisyah radliyallahu 'anha :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
"Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mencium sebagian istrinya kemudian keluar menuju shalat tanpa berwudlu lagi". (HR At Tirmidzi dan lainnya).
Dikeluarkan oleh At Tirmidzi dan ibnu Majah dari jalan Wakie' dari Al A'masy dari Habib bin Abi Tsabit dari 'Urwah dari Aisyah. Qultu: "Sanad Ini lemah karena Habib bin Abi Tsabit ini mudallis dan telah meriwayatkan dengan lafadz 'an, selain itu ia diperselisihkan pendengarannya dari 'Urwah. Namun Habib dimutaba'ah oleh Hisyam bin 'Urwah dari 'Urwah dari Aisyah dengan lafadz: "Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mencium sebagian istrinya dalam keadaan beliau berpuasa". Dikeluarkan oleh Ishaq bin Rahawaih dalam musnadnya dan ini adalah sanad yang shahih, dan ini tidak bertentangan dengan lafadz Habib bin Abi Tsabit karena diriwayatkan dari jalan Ali bin Abdul 'Aziz haddatsana 'Ashim bin Ali haddatsana Abu Uwais haddatsani Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya dari Aisyah bahwa sampai kepadanya perkataan ibnu Umar wajibnya berwudlu karena mencium istri, Aisyah berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mencium dalam keadaan puasa kemudian tidak berwudlu lagi". Dikeluarkan oleh Ad Daraquthni dalam sunannya 1/136, Qultu: "Sanad ini hasan, Ali bin Abdul 'Aziz adalah Al Baghawi tsiqah, dan 'Ashim bin Ali dikatakan oleh Al Hafidz: "Shaduq". Sedangkan Abu Uwais namanya Abdullah bin Abdullah bin Uwais Al Ashbahi ia perawi yang shaduq yahim, para ulama mengkritiknya karena hafalannya yang buruk dan suka menyalahi para perawi lain sebagaimana yang dikatakan oleh ibnu Abdil Barr, namun disini ia tidak menyalahi. Maka hadits ini menjadi shahih dengannya. Wallahu a'lam.
Dan hadits ini mempunyai jalan lain yaitu dari jalan 'Atha dari Aisyah dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam musnadnya: Haddatsana Isma'il bin Ya'qub bin Subaih haddatsana Muhammad bin Musa bin A'yan haddatsana ayahku dari Abdul Karim Al jazari dari 'Atha dari Aisyah. Qultu: "Sanad ini shahih semua perawinya tsiqah". Dan Ad Daraquthni 1/137 meriwayatkannya dari jalan Al Walid bin Shalih dari Ubaidullah bin Amru dari Abdul Karim dan ini adalah sanad yang shahih.
Hadits ini menunjukkan dengan jelas bahwa memegang wanita tidak membatalkan wudlu, karena dalam hadits ini disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mencium sebagian istrinya yaitu Aisyah kemudian shalat tanpa berwudlu lagi, kalaulah membatalkan tentu beliau berwudlu kembali.
Hadits Aisyah radliyallah 'anha ia berkata:
فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ...
"Suatu malam aku kehilangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari ranjang, akupun mencarinya maka tanganku memegang perut kedua kakinya yang bediri sedangkan beliau di dalam masjid, beliau sedang berdo'a: "Allahumma A'udzu biridlaka min sakhathika… (HR Muslim).
Kalaulah memegang wanita itu membatalkan wudlu secara mutlak tentu beliau membatalkan shalatnya.
Hadits Aisyah juga, ia berkata:
إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي وَإِنِّي لَمُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ اعْتِرَاضَ الْجَنَازَةِ حَتَّى إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ مَسَّنِي بِرِجْلِهِ
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat sementara aku melintang di hadapannya seperti melintangnya janazah sehingga apabila beliau ingin shalat witir beliau menyentuhku dengan kakinya". (HR Ahmad dan An Nasai).
Adapun dalil madzhab yang berpendapat batalnya wudlu karena memegang wanita adalah qira'at أو لمستم النساء "Atau engkau memegang wanita". Ibnu Mas'ud dan ibnu Umar menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "lamastum" adalah memegang selain jima', akan tetapi penafsiran mereka diselisihi oleh ibnu 'Abbas yang menafsirkan bahwa makna "Lamastum" artinya jima, beliau berkata: "Ia adalah jima' akan tetapi Allah memberi kiasan apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki".
Dan penafsiran ibnu Abbas ini yang rajih karena di dukung oleh hadits-hadits di atas, dan juga di dukung oleh redaksi ayat tersebut. Karena apabila kita perhatikan firman Allah ta'ala: "Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak shalat maka cucilah…dst adalah thaharah dengan air untuk hadats kecil, kemudian firman-Nya: "Dan jika kamu junub maka mandilah". Ini adalah thaharah dengan air untuk hadats besar.
Dan firman-Nya: "Dan Jika kamu sakit atau berpergian jauh atau buang air atau lamastum wanita maka bertayammumlah". Artinya bertayammumlah untuk dua hadats tersebut, sehingga tampak kepada kita bahwa firman Allah: " atau buang air". Menjelaskan hadats kecil dan firman-Nya: " atau lamastum wanita". Menjelaskan hadats besar.
Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Bani rahimahullah dalam shahih sunan Abi Dawud no 172.
no 672 tahqiq Abdul Ghafur Al Balusyi.
Dari jalan Laits dari Yazid bin Al Haad dari Abdurrahman bin Al Qasim dari Al Qasim bin Muhammad dari Aisyah. Qultu: "Sanad ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar